Soal ledakan pipa gas Nord Stream, Putin sebut Jerman masih dijajah

0
33

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan tanggapan Jerman terhadap ledakan pipa gas Nord Stream menunjukkan bahwa negara itu masih “dijajah” dan tidak dapat bertindak secara independen dalam beberapa dekade setelah menyerah tanpa syarat pada Perang Dunia Kedua.

Putin, saat diwawancarai di televisi Rusia, juga mengatakan para pemimpin Eropa telah ditindas hingga kehilangan rasa kedaulatan dan kemerdekaan mereka.

Negara-negara Barat, termasuk Jerman, telah bereaksi dengan hati-hati terhadap penyelidikan atas ledakan yang menghantam pipa gas Nord Stream Rusia tahun lalu.

Negara-negara Barat meyakini bahwa serangan tersebut merupakan tindakan yang disengaja, tetapi mereka menolak mengatakan pihak mana yang bertanggung jawab.

“Masalahnya adalah para politisi Eropa telah mengatakan kepada diri mereka sendiri secara terbuka bahwa setelah Perang Dunia Kedua, Jerman tidak pernah menjadi negara yang berdaulat penuh,” demikian kantor berita Rusia mengutip ucapan Putin kepada saluran TV Rossiya-1.

“Uni Soviet pada satu titik menarik pasukannya dan mengakhiri apa yang dianggap sebagai pendudukan negara.

Tapi, seperti diketahui, tidak demikian halnya dengan AS.

Mereka terus menduduki Jerman.” Putin mengatakan bahwa ledakan itu dilakukan oleh tingkat negara.

Dia membantah tuduhan bahwa kelompok otonom pro-Ukraina bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Jalur perpipaan Nord Stream berfungsi untuk menyalurkan gas dari Rusia ke Eropa, termasuk Jerman melalui bawah laut Baltik.

Namun, sejak invasi Moskow ke Ukraina tahun lalu, Berlin telah mengambil langkah untuk mengurangi ketergantungannya terhadap hidrokarbon Rusia.

Para pemimpin di Berlin telah berhati-hati untuk tidak menyalahkan pihak mana pun atas ledakan itu.

Menteri Pertahanan Boris Pistorius mengatakan pekan lalu ledakan itu bisa menjadi “operasi bendera palsu untuk menyalahkan Ukraina”.

“Bendera palsu” adalah tindakan politik atau militer yang biasa dilakukan untuk menyalahkan lawan.

Sejumlah negara kerap melakukan aksi ini dengan melakukan serangan atau simulasi di pihak mereka sendiri dan mengatakan musuh melakukannya, sebagai dalih untuk berperang.