Kehilangan dukungan, Boris Johnson akhirnya lengser

0
27

Boris Johnson, Perdana Menteri Inggris yang dikenal dengan gaya rambut nyentrik, mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7) setelah kehilangan dukungan dari para menteri dan sebagian anggota parlemen konservatif.

Keputusan Johnson untuk mundur dari posisi Perdana Menteri Inggris terjadi setelah puluhan menteri dan pejabat pemerintah mengundurkan diri.

Aksi puluhan menteri dan pejabat pemerintah Inggris mengundurkan diri dipicu oleh aksi Menteri Kesehatan Sajid Javid dan Menteri Keuangan Rishi Sunak yang menyatakan mundur dari jabatannya pada Selasa (5/7).

Javid dan Sunak mundur dari jabatannya karena mereka tidak puas dengan cara Perdana Menteri Boris Johnson menangani tuduhan skandal pelecehan seksual seorang anggota parlemen dari partainya.

Dalam surat pengunduran diri mereka, Javid dan Sunak mempertanyakan kemampuan Boris Johnson untuk menjalankan pemerintah yang mematuhi standar.

Kedua menteri itu mengaku kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan Borish Johnson untuk memerintah demi kepentingan nasional setelah serangkaian skandal.

Sikap Mr.

Messy Hair alias Tuan Rambut Berantakan yang sebelumnya bersikeras mempertahankan jabatan sebagai Perdana Menteri Inggris berubah setelah menerima surat dari Menteri Keuangan Nadhim Zahawi yang baru saja ia lantik.

Dalam suratnya, Zahawi mendesak Johnson untuk mundur dari posisi Perdana Menteri karena situasinya tidak lagi kondusif.

Kalau Johnson tetap melanjutkan memimpin pemerintahan, maka situasinya hanya akan bertambah parah: Bagi Anda, Partai Konservatif dan terutama bagi seluruh negeri, tulis Zahawi.

Desakan juga dilayangkan anggota parlemen senior Partai Konservatif Bernard Jenkin saat bertemu Johnson, pada Selasa (5/7).

Jenkin menekankan bahwa ini bukan cuma masalah Johnson harus lengser sekarang, tapi juga bagaimana cara Johnson mengundurkan diri.

Anda bisa mundur dengan bermartabat atau diusir keluar seperti Donald Trump, ujar Jenkin seperti dikutip Reuters.

Desakan Johnson mundur terjadi sebulan setelah Johnson lolos dari mosi tidak percaya di parlemen berkat dukungan 211 anggota fraksi konservatif.

Namun hasil pencoblosan menunjukkan bahwa 41 persen anggota Konservatif menentang kepemimpinan Boris Johnson.

Johnson menjadi tokoh Brexit ketiga yang ditumbangkan Partai Konservatif, menyusul bekas PM Theresa May dan Dominic Cummings, bekas direktur kampanye Brexit, yang sebelumya juga lengser dalam kisruh internal.Masyarakat berkumpul di depan Downing Street saat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyampaikan pernyataannya, di London, Inggris, Kamis (7/7/2022).

(ANTARA FOTO/REUTERS/Henry Nicholls/wsj/NBL).

(REUTERS/HENRY NICHOLLS/HENRY NICHOLLS)Meredup Situasi saat ini sangat berbeda saat Johnson berkuasa pada 2019.

Ia begitu populer dan naik ke tampuk kekuasaan dengan menampilkan dirinya sebagai tokoh yang mengantarkan Inggris keluar dari Uni Eropa atau dikenal sebagai Brexit.

Politisi Inggris yang dikenal dengan rambut pirangnya yang tidak rapi itu mengawasi kepergian Inggris dari Uni Eropa dan menjanjikan agenda baru yang radikal untuk memotong birokrasi, meningkatkan investasi, serta mengatasi ketidaksetaraan yang mendalam antara berbagai wilayah di Inggris.

Agenda- agenda populis Johnson membuat musuh bagi dirinya sejak dini karena beberapa kebijakan Johnson menabrak aturan yang sudah ada.

Sesaat wabah virus corona merebak di kota Wuhan di China pada Desember 2019, agenda Brexit Johnson menjadi hampir tidak terarah.

Awalnya, Johnson meremehkan COVID-19 namun dia terpaksa mengubah taktik ketika proyeksi ilmiah menunjukkan seperempat juta orang bisa mati di Inggris.

Dia kemudian menutup Inggris, menyarankan orang untuk tinggal di rumah.

Saat Johnson sendiri terinfeksi COVID-19 dan hampir membuatnya mati karena virus corona itu, ia memenangkan simpati masyarakat yang begitu besar.

Johnson pun semakin memenangkan hati masyarakat Inggris karena peluncuran vaksin yang cepat dan program pembayaran sebagian besar gaji pekerja yang cuti.

Namun kepopuleran Johnson tidak berlangsung lama dikarenakan sejumlah skandal terjadi di kantor perdana menteri di Downing Street no.

10 saat penguncian akibat virus corona.

Saat sebagian masyarakat Inggris terjebak di rumah karena adanya pemberlakuan penguncian secara ketat, para pekerja di Downing Street no.10 itu minum-minum dan kadang-kadang berpesta hingga dini hari.

Publik sangat marah terhadap hal itu-sementara ribuan orang melewatkan pemakaman, pertemuan keluarga dan berpegang teguh pada aturan demi kebaikan negara – mereka yang membuat aturan itu melanggarnya.

Johnson sendiri didenda oleh polisi atas pertemuan untuk menandai ulang tahunnya yang ke-56 pada Juni 2020.

Rentetan skandal terus menimpa perjalanan karir Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris.

Namun yang menjadi puncak dari berbagai skandal pemerintahan Boris Johnson yaitu skandal yang melibatkan seorang anggota parlemennya yaitu Chris Pincher, sekutu Boris Johnson di Partai Konservatif Britania Raya.

Pada 29 Juni, saat Pincher menghadiri acara di The Conservative Friends of Cyprus, organisasi relawan Partai Konservatif Britania Raya, ia dituduh melakukan pelecehan seksual.

Laporan pelecehan itu diketahui seorang anggota parlemen yang kemudian melaporkannya ke Chris Heaton-Harris, sekretaris parlemen.

Pincher akhirnya memutuskan mundur dari jabatannya.

Ia mengaku tengah mabuk kala kejadian terjadi.

Namun publik kemudian menyesalkan keputusan Johnson yang tetap memilih Pincher sebagai wakil kepala Konservatif.

Pasalnya, Pincher juga telah memiliki sejumlah kasus dan tuntutan sejak 2017 berdasarkan catatan media The Guardian.

Boris Johnson pun meminta maaf atas penanganannya terhadap skandal Pincher.Alasan utama Pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan alasan utama pengunduran diri Johnson adalah sadar akan dirinya yang banyak salah ucap atas kaum wanita dan pemimpin asing, sehingga merendahkan etika yang dijunjung tinggi dalam pemerintahan Inggeris.

Boris Johnson juga memaki dirinya yang tidak lagi didukung para anggota parlemen dari partainya sendiri, kata dia.

Mengenai pengganti Johnson, Rezasyah mengatakan sudah terdapat 12 kandidat dari Partai Konservatif merujuk Koran The Guardian.

Namun kandidat terkuat adalah Ben Wallace, yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan.

Tokoh ini sangat populer dan diunggulkan, karena publik mengagumi kebijakannya dalam menangani krisis Rusia-Ukraina, serta memulangkan warga Inggris yang terdampak konflik di Afghanistan.

Meskipun ada pergantian perdana menteri di Inggris, ia memperkirakan kebijakan negara monarki konstitusional itu atas krisis Rusia-Ukraina tidak berubah.

Karena Inggris senantiasa menempatkan dirinya bersama Amerika Serikat, yakni mendukung Ukraina.

Diperkirakan Ben Wallace akan mencoba mengurangi ketegangan, dengan memperlambat keanggotaan Ukraina dalam NATO, namun secara bertahap mengijinkan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa, dengan catatan pertumbuhan ekonomi Ukraina yang terus membaik, kata Rezasyah.

Ia juga mengatakan Inggris akan mengarahkan G7 untuk mempercepat rehabilitasi Ukraina secara ekonomi, dengan anggaran yang telah disiapkan sesuai hasil KTT G7 di Jerman.

PM yang baru akan tetap menghargai RI sebagai mitra strategis, dan mempertahankan kerjasama ekonomi dan pembangunan yang telah dibangun oleh pemerintahan Inggris sebelumnya.

Diperkirakan PM Inggris akan menghadiri KTT G20 di Bali bulan November tahun 2022 ini, untuk menjamin tidak adanya perubahan dalam kebijakan jangka panjang Inggris.

Skandal Pincher akhirnya mengantarkan Boris Johnson menyudahi jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris.

Keajaiban politik yang selalu menghampirinya kali ini tidak berhasil.

Sosok nakal, blunder, karismatik yang pernah menjadi kekuatan Boris Johnson telah menjadi kelemahan di mata anggota parlemennya.

Boris Johnson tidak lagi dilihat sebagai pemenang yang dipilih oleh Partai Konservatif.Editor: Agus Setiawan COPYRIGHT © ANTARA 2022