Reaksi Pasar Terhadap Wabah Virus Pada Masa Lalu Menunjukkan Bahwa Saham AS Mungkin Akan Merugi

0
134

JAVAFX – Kecemasan investor terhadap virus corona menyebabkan Dow Jones Industrial Average mengalami penurunan beruntun terpanjang sejak Agustus dan ditengah kekhawatiran virus Corona yang terus menyebar dan semakin berdampak ke pasar keuangan global serta meningkatkan cengkeraman kuat pada investor.

Ketika melihat 20 tahun ke belakang, epidemi sebelumnya dari SARS pada tahun 2003 dimana ketakutan Ebola enam tahun lalu mencukur 6% hingga 13% dari Indeks S&P 500 dalam jangka waktu yang berbeda dan Benchmark ekuitas turun sekitar 2,6% hingga penutupan Senin sejak 21 Januari.

Otoritas kesehatan China mengatakan Selasa bahwa wabah koronavirus telah menewaskan 106 orang dan sebanyak 4.515 terinfeksi virus tersebut. Gedung Putih telah memberi tahu maskapai penerbangan bahwa mereka mungkin menangguhkan semua penerbangan dari China ke AS, menurut orang yang mengetahui masalah ini. Para ahli medis telah membandingkan coronavirus dengan sindrom pernafasan akut yang parah, atau SARS, yang berlangsung selama 38 hari perdagangan dan menghasilkan penjualan 12,8% di S&P 500.

Wabah terbaru adalah Zika, yang dimulai pada November 2015 dan sebagian besar disebarkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi dan memberikan kesengsaraan pada pasar sebesar 13% dalam rentang 66 sesi.

Ketakutan SARS di Hong Kong pada tahun 2003 mengubah pola pikir para manajer dana yang tidak berurusan dengan munculnya risiko kesehatan seperti itu dan oleh karena itu MERS, Ebola, Zika, flu burung dan sekarang coronavirus telah menciptakan keprihatinan mendalam dengan masih terbatasnya informasi mengenai sejauh mana penularannya, obat apa yang dapat diberikan pada penderitanya dan selama jangka waktu berapa lama penderita akan sembuh.

Seluruh 11 sektor S&P 500 menurun selama wabah SARS 17 tahun yang lalu dan layanan teknologi informasi dan komunikasi adalah yang paling dirugikan selama periode tersebut, masing-masing turun 14% dan 26%.

Itu karena China telah menjadi produsen dan pemasok penting bagi banyak perusahaan teknologi Amerika. Apple, misalnya, dapat melihat produksi iPhone melambat karena wabah virus corona.

Sentimen yang membuat pasar bersikap risk-off (menghindari risiko)  adalah penyebaran virus Corona yang semakin luas membuat pelaku pasar khawatir terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Sudah lebih dari 2.000 kasus virus Corona terjadi di China dengan korban jiwa mencapai 82 orang. Tidak hanya di China, virus ini juga sudah menyebar ke berbagai negara di Asia, Amerika, sampai Eropa.

Virus Corona berawal dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei, China. Perayaan libur Tahun Baru Imlek membuat virus ini menyebar luas dan cepat, karena tingginya mobilitas masyarakat. Zhou Xianwang, Wali Kota Wuhan, mengakui bahwa upaya pengendalian virus di kota yang dipimpinnya kurang baik. Bahkan dia siap mundur jika memang harus demikian.

Gara-gara virus Corona, perayaan Imlek di China menjadi gloomy. Bahkan Wuhan seolah menjadi kota mati, tidak ada aktivitas berarti saat semestinya warga bersuka cita menyambut tahun baru. Imlek yang biasanya menjadi puncak konsumsi rumah tangga di Negeri Tirai Bambu berubah 180 derajat. Sepertinya dalam waktu dekat konsumsi rumah tangga masih belum bisa diandalkan sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kami menutup kota untuk menghentikan penyebaran virus, tetapi sepertinya kami sudah menorehkan nama buruk di buku sejarah. Kalau memang dibutuhkan, saya siap mundur sebagai bentuk permintaan maaf. Ketua Partai (Komunis) Wuhan Ma Guoqiang dan saya akan bertanggung jawab,” kata Zhou dalam wawancara dengan CCTV, seperti dikutip dari Reuters.

Padahal China adalah pendorong pertumbuhan ekonomi Asia, bahkan dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China tumbuh 6% pada 2020. Namun seiring kelesuan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor akibat penyebaran virus Corona, maka angka tersebut jadi penuh tanda tanya. Selain konsumsi, aktivitas dunia usaha juga tentu terganggu. Jadi investasi dan ekspor juga kemungkinan besar bakal melambat. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi China akan susah keluar dari jalur pelambatan.

Dengan perkembangan ini, sangat wajar investor enggan bermain di aset-aset berisiko. Lebih baik mengamankan diri dengan memburu aset aman (safe haven) seperti emas atau yen Jepang. Rupiah yang kekurangan peminat tidak punya pilihan selain melemah.